Sekilas Novel Grafis


Sekilas Novel Grafis
oleh Maruto Septriono


Walter menatapi api dan menutur :
“ Berdiri didepan bola api….
noda darah menggumpal di dada
seperti peta dunia baru yang ganas.
Merasakan planet gelap berputar di telapak kaki.
Apa yang diketahui kucing sehingga mereka meraung 
seperti bayi di malam hari…
Narasi berlanjut :…
“ Eksistensi adalah acak tak ada pola..
kecuali yang kita khayalkan
setelah menatap sesuatu terlalu lama.
Tak ada makna….
kecuali yang kita pilih untuk dicangkokan
Bukan Tuhan yang membunuh anak – anak
Bukan nasib yang mencincang meraka
Atau .. Takdir yang menjadikan meraka makanan anjing…
Tapi…Kita. Hanya kita

Semua itu adalah adegan komik “Watchman “di bab 6 terbitan DC Comic novel grafis ini ditulis oleh Alan Moore digambar Dave Gibbons. Pertama terbit dalam satu buku lengkap dengan Memor,kliping Koran ,laporan polisi dan profil psikologis. Dan…semua itu FIKTIF
Pada tahun 2005 novel grafis ini termasuk dalam daftar terbaru 100 novel terbaik abad 20 versi majalah TIME. Percaya atau tidak ,.. ini adalah komik superhero
Meskipun gambar dibuat penuh disiplin, dari Gibbons yang patut mendapat pujian, tak ada yang menampik bahwa novel grafis ini adalah buah pikiran dari Alan Moore

Menulis tentang novel grafis tentu bukanlah pekerjaan mudah.Setiap orang juga punya sudut pandangan sendiri tentang itu. Penulisan ini semata-mata berdasarkan kepentingan umum untuk mempunyai perbadingan agar mengurangi ke satu sudut pandang.
Tentang Novel grafis masih tetap di awan- awan, sangat elite sifatnya. Lantaran istilahnya Novel Grafis mengandung kata Novel itu sudah terhormat begitu pula kata Grafis dengan memaknai kata Novel Grafis seakan anda memperoleh dua kehormatan.

Istilah novel grafis ini muncul sekitar tahun 1978 dari karya Will Eisner judul karya “A contract with God”  meskipun dibantah oleh sejarawan komik AS RC. Harvey bahwasannya istilah novel grafis sudah ada sejak tahun 1960 an, tetapi public Amerika sudah terjalur menerima W.Eisner sebagai bapak novel grafis. Perdebatan dari istilah sampai difinisi tentang novel grafis sampai sekarang pun masih berlanjut.

Bahkan ada yang meledek “ sudahlah pakai istilah komik, toh tak ada bedanya. Bukankah novel grafis memakai gambar, balon teks, layaknya komik.
Sebagian ada yang berkata sambil memegang keningnya “ Bedanya dengan komik …novel grafis itu lebih panjang bisa sampai ratusan halaman.”
Sebagian ada yang sambil garuk-garuk nggak gatal menyebut “ Novel grafis sama saja seperti novel hanya saja……memakai bahasa grafis.”
Sebagian yang lain dengan semangatnya menyebut “ ada ambisi sastrawinya didalam..”
Atau seseorang dipojok dengan rokok tak pernah putus “…novel grafis lebih menekankan pada revolosi cara bercerita dan penataan panel yang lebih eksperimental ..”.

Mana yang benar..? bila niatnya mencari pembakuan novel grafis tentu akan membuatnya terkungkung oleh definisi – definisi yang kaku. Saya rasa novel grafis akan jauh lebih berkembang tanpa batasan – batasan yang saklek.

Itu obrolan tahun 2005 berawal dari pertanyaan …apa sih novel grafis ? mengapa harus novel grafis ? apa bedanya novel grafis dengan komik ?. Saat itu kita masih menggosipkan dan mengkhayalkan, sementara dunia di luar sana novel grafis sudah di produksi tebal – tebal, memakai kertas bagus- bagus , dengan gambar yang mengagumkan. Disini 2 atau 3 karya menyebutkan dirinya novel grafis, seperti judul “Blancan : Rindu Dendam “(jilid 1) karya Wisnoe Lee (1995 - ..), Beng Rahardian “Selamat Pagi Urbaz

Dengan perkembangan itu Novel Grafis dapat memberi kemungkinan – kemungkianan baru, bisa sebagai Roman sejarah, Revisioner superhero. Pictoram, underground, puisi, semiografi. Apalagi kini novel grafis telah mencapai critical mass.Tersedia segala macam jenis pembaca tua, muda, serius, humoris, pria, wanita, pencari seni, penggemar hiburan. Bila disadari bahwa format novel grafis adalah standard industri di banyak negara sejak lama Prancis, Belanda, Italia, Belgia, apalagi Jepang dan juga Indonesia.

Pada tahun 2005 Frank Miller (komikus ) memberi pernyatan yang menggegerkan industri komik AS “ Masa depan komik bukanlah dalam (format) pamlet.” Miller mengkritik format komik tipis yang sudah 60 tahun jadi standar di AS. Wah..menarik bukankah standard komik kita sejak tahun 1950 s/d 1980 an adalah cerita panjang. Mungkinkah masa depan komik kita terletak pada format novel grafis..? barangkali Si Buta Dari Goa Hantu (Ganes TH ) menjawab “Amien …bro..Amien.”
         
Kendati kita tak hirau dengan hiruk pikuk perdebatan definisi-definisi novel grafis di Amerika & Eropa.Komikus Indonesia secara tak langsung sudah menciptakan hal-hal mendasar novel grafis “Mahabarata” (1950) R.A Kosasi lebih pada sastra eposnya, disusul “Trilogi Sandhora”  (1971) karya Teguh Santosa dengan cara bercerita yang unik dan tehnik gambar yang experimental. Trilogi ini adalah fiksi mengambil cerita sejarah yang berlatar belakang penyerbuan Spanyol ke Filipina dan perang Diponogoro (1825–1830 ). Karya dari Wid.N.S bejudul “Kucing” (1981) genre novel grafis di luar superhero demikian pula karya Hasmi judul “Balada Laki-Laki Tanah Kapur” (1982) terispirasi dari puisi W.S.Rendra.

Tahun-tahun penting pejalanan komik ke novel grafis :

1954 – Penerbit Melodia Bandung menerbitkan 2 komik epik karya R.A.
  Kosasi (Mahabarata) dan Johnlo (Raden Palasari). Kedua komik ini
  menjadi standard awal buku komik Indonesia.Sekaligus melahirkan      
  genre khas Indonesia : komik wayang bisa mencapai lebih dari 700   
  halaman.
  Di Amerika Federic Wertlam menerbitkan Seduction of Innocents.    
  Memaksa industri komik di Amerika membuat standard    
  selfsensorship teramat ketat, yang menempatkan komik sebagai
  bacaan anak-anak dan harus diawasi.

1968 – Ganes TH menerbitkan Si Buta Dari Goa Hantu sebagai
  kebangkitan kedua industri komik Indonesia sekaligus mengawali
  trend komik silat yang berjaya sepanjang tahun 1970 an s/d 1980   
  an mirip komik manga di jepang.

1971 – Teguh Santoso menerbitkan “ Mat Romeo “ bagian satu dari trilogy
  sandhora dan Menyebutnya dengan novel bergambar.
  Kenji Nakazawa menerbitkan “ Hadashi No Gen “ di Jepang   
  menjadi komik manga pertama yang diterjemahkan di Amerika

1986 – Tahun penting bagi evolusi novel grafis maupun komik pada
umunnya
  Art Spiegelman menerbitkan “ Maus vol 1 “ dalam bentuk Buku.
  Frank Miller menerbitkan mini seri “Dark Night Returns”
            Alan Moore & Dave Gibbons menerbitkan maksi-seri “Watchman
            Karya Alan moore & Frank Miller dianggap merevisi genre
superhero jadi lebih dewasa dan menjadi tonggak awal novel grafis     
menembus mainstream

1992 – Maus vol II mendapat penghargaan khusus Pulitzer untuk sastra.  
Ini mengejukan public luas akan potensi naratif komik dalam   
bentuk novel grafis ini

2002 – Nilai industri novel grafis di Amerika menembus angka lebih dari
  100 juta dolar dan terus meningkat, format novel grafis telah
  mencapai critical mass

2005 – Dalam 100 novel terbaik sepanjang masa versi TIME, terdapat 10
  judul novel Grafis.

Kembali ke…..Ibu Pertiwi….
Melihat pekembangan komik kita dalam kondisi kekinian setelah era kejayaannya tahun 1970 an s/d 80 an dan kemudian surut kondisinya. Meskipun terdengar letupan kecil di jogya tahun 1990 an dengan kelompok-kelompok kecil “ Daging Tumbuh”, “Apotik Komik”, “Taring Padi” dll. Berniat menjadikan jogya sebagai kota komik (mestinya kota Malang karena gudang komikus ada disini). Gerakan mereka ini lebih kepada seni rupa modern yang istilahnya kontemporer mendasarkan komik sebagai bahasa visual untuk gerakan seni rupa baru mereka.Tetapi gerakan ini tidak sampai kepada industri dan media ruang public yang lebih luas.tokoh gerakan ini pun sekarang jadi perupa yang handal.( Samuel indraatma,Eko Nugroho, dll)

Kelesuan komik kita diakibatkan
  •        Niatan komikus kita untuk mencoba melahirkan ciptaan baru dan menperjuangkan karyanya semisal ditawarkan kepada penerbit kalaupun ditolak tidak mencoba lagi dengan karya baru ke beberapa penerbit yang lain, sering penolakan dari penerbit dianggap kegagalan bahkan sebagian besar beralih ke profesi lain pelukis, periklanan, dll.
  •        Penerbit pun menjadi pemalas dan tidak punya nyali mereka lebih tertarik menerbitkan dan menampung komik dari luar (AS, Jepang, Eropa) karena harganya ¾ lebih murah dari komik lokal dan pasti lebih mendatangkan keuntungan karena komik luar itu sudah di tayangkan di berbagai media kita. Kalaupun ada komik lokal yang laku di pasaran, cetak ulangnya pun tersendat-sendat.
  •      Media ruang pulik pun tidak pernah meliput atau mempupolerkan karya-karya mereka apalagi memberi penghargaan kepada komikus-komikus kita meskipun karya-karya mereka pernah menghiasi media pulik.

Mungkin saya terlalu ceroboh dan naïf untuk menyatakan 3 hal itu (Komikus, Penerbit, Media public) yang menyebabkan kita tidak bisa menikmati kreasi dan kreatif karya-karya komikus kita sendiri

Dan selalu timbul pertanyaan solusinya apa? Jalan keluarnya apa? Apa kita menyerah saja dengan nasib? Barangkali “Mahesa Rani” (karya Teguh santosa) akan menjawab “ Ya..nggak-lah..ya! ”

Seperti saya tulis diawal, ini hanya dari sudut pandang yang subjektif untuk supaya menjadi objektif harus dipertemukan dari sudut pandang yang lain. Saya percaya dengan generasi muda dan komunitas-komunitasnya apalagi di tunjang dengan kemajuan tehnologi.Pergerakan mereka saat ini patut dicermati
Waktu dan tenaga mereka lebih panjang, bila hal ini (novel gafis) jadi alat tawar kepada mereka tentu akan membuat perbedaan ke depan semakin tinggi nilai tawar karyanya semakin tinggi nilai sentaknya pada kesadaran, tanggung jawab, rasional maupun emosianal.

Saat penulisan ini aku teringat di usia 8 -9 tahunan duduk diruangan 2 x 3 meter penuh dengan benda mainan robot, senjata mainan, boneka, poster atau gambar fantasi dan buku-buku komik dari berbagai macam versi. Ruangan yang penuh imajinasi merasang untuk kerja dan kerja. Seakan Waktu dan ruang di luar berhenti di ruangan ini.Penuh, mampat dan padat, ruangan tempat lahirnya karya-karya komik yang luar biasa salah satunya Trilogy Sandhora yang terkenal itu. Meskipun 20 tahun kemudian untuk terakhir kali aku memasuki ruangan ini ternyata tetap tidak berubah seakan waktu membawa mundur. Seorang anak kecil duduk disebelahnya seorang berusia 45 tahunan memakai kacamata menikmati goresan demi goresan di atas kertas 46 cm x 50 cm dengan pencil atau kuas dan tinta bak dalam proses pembuatan komik “ Mahesa Rani” beliau adalah Teguh Santosa, satu dari tiga tokoh komikus besar Indonesia. Selain Yan Mitaraga, Ganes TH
Sampai sekarang masih membekas…Keirianku akan keasyikannya untuk menciptakan Dunianya sendiri….sangat ispiratif

          Demikian sedikit tentang tulisan novel grafis yang saya ketahui dan banyak kalanya tidak memerlukan logika. Kesimpulan diatas banyak pemikiran subjektif hasilnya pun tetap subjektif kejujuran yang lahir dari penulisan ini juga subjektif
          Saya akhiri …salam

                                                                   Pakisaji 1 Januari 2013
                                                                            
                                                                                                                               WIZHCLOP




Referensi:
  • Ruang Baca Koran Tempo edisi 23 Februari 2006
  • Diskusi dengan Keo ( Perupa dan Komikus )
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :