Proses Kreatif

Proses Kreatif : Maruto
            
                

                “ DUNIA KERJAKU ”

    Menceritakan proses kreatif tentu bukan pekerjaan mudah. Proses kreatif tetap pengalaman pribadi yang sangat pribadi sifatnya, sudah terumuskan atau belum sulit diputuskan. Penulisan ini semata-mata berdasarkan kepentingan umum untuk mempunyai perbandingan agar mengurangi satu sudut pandang.
    
    Tahun 2003 usiaku 36, istriku mencuci baju dibelakang rumah. Dipangkuanku anakku usia 8 tahun dihadapan kami berdua berjejeran kurang lebih 30 lukisanku, aku katakan pada anakku “Lukisan ini semua,..besok akan jadi milikmu.” Anakku jawab   “ Masak ...Yah ?”. Matanya berbinar-binar senang karena  “akan datang“ mendapat sekian banyak gambar yang di pigora.
Anakku belum mengerti bahwa saat itu  hatiku benar-benar menangis “putus asa”, Karena jejeran lukisan itu belum memberikan konstribusi yang berarti bagi keluargaku.Terus terang aku lebih mengutamakan kepentingan keluarga diatas kepentingan yang lainnya, terutama melukis. Kukatakan kepada anakku tentang pemberian lukisan ini kepadanya tidak lebih bahwa pekerjaan melukis ini bukan pekerjaan sia-sia. Butuh kerja keras, olah pikir, belum lagi menpertanyakan yang dicari, dijalani, untuk menemukan kebebasan, membebaskan temuan mengalami kekosongan, mempertanyakan kembali yang dicari demikian seterusnya. Aku masih mempercayainya sampai sekarang mungkin hanya ini yang bisa aku tinggalkan untuk dijejak oleh keluargaku di masa depan tentang keberadaanku.
    
    Kenangan ini masih terasa sampai sekarang, masa baru 12 tahun aku menekuni dunia seni sudah terjerebab dalam  “keputusasan” apa tidak memalukan? tapi bagaimanapun jalan hidup yang telah ditentukan dan di tempuh saat itu…..buntu?
    
    Kubuka kembali di tahun 1987 ditaman tengah kota ada sanggar yang dihuni 2 orang pelukis. Salah satu dari pelukis itu agak aneh dalam membuat objek lukisan (saat itu aku sudah senang menggambar dengan mencontoh di majalah-majalah illustrasi,cover kaset ). Pelukis itu sangat menikmati sekali pekerjaannya. Aku pernah menunggu pelukis itu bekerja mulai dari kanvas kosong sampai lukisannya selesai . Perubahan demi perubahan yang dibuat pelukis itu sungguh “keajaiban”. Pulang dari sanggar itu (biasanya sore hari) dirumah terbayang pelukis itu bekerja, keanehan itu dalam mempermainkan  bentuk dan warna sungguh benar-benar menarik. Hal ini membawaku pada perenungan tentang melukis.Bahwasanya lukisan itu bisa dikembangkan sebebas-bebasnya tidak terhenti pada gambar yang dipindahkan ke kanvas persis aslinya. Maklum saja saat itu aku hanya mampu meniru gambar dari sampul–sampul kaset dan majalah, tentang pemahamam dari mana asal pemikiran seperti pada lukisan itu, Aku nol besar. Tetap saja aku mempertanyakan gangguan itu.
    
    Peristiwa itu membawaku mengambil keputusan untuk sekolah senirupa. Saat itu aku tidak memperdulikan untuk sekolah ke IKIP Negeri atau ke Institut Seni Indonesia yang penting aku belajar melukis. Semangat ini membawaku diterima jadi mahasiswa IKIP Negeri Malang. Dikemudian hari aku baru mengetahui jurusan senirupa IKIP Malang lebih banyak materi pengajaran untuk menjadi guru senirupa daripada pelukis. Apa boleh buat, itulah memang semangat pribadi pada masanya. Jadi aku harus menambah porsi belajarku diluar jam kuliah seperti menemui pelukis-pelukis dikota ini.

    Selesai sekolah membawaku untuk belajar dan bekerja sambil belajar melukis. bidang pekerjaan yang aku pilih selalu berhubungan dengan bidang senirupa karena hanya itu yang aku bisa. Dunia kerja ini membawaku pada proyek pekerjaan yang dikerjakan oleh beberapa pelukis. Di salah satu proyek pekerjaan itu  aku mengenal seorang pelukis namanya TULANMORO (alm.) alumni LPKJ sekararang IKJ, aku jadi akrab dengannya karena pandangan-pandangan tentang dunia lukis begitu luas dan dalam. Apalagi aku saat itu lagi semangat-semangatnya melukis. Aku jadi sering memperlihatkan karya-karyaku dan memperbincangkan. Dia malah jarang membahas masalah teknisku, kalaupun dibahas sebatas visual (" teknis akan membaik dengan sendirinya bila kita rutin atau intensif berkarya katanya" ) konsep bagaimana kita terkondisi  “Intensif Berkarya“ (Tema, Gagasan, Wujud) ini yang menjadi perbincangan kita selama itu sampai Beliau tutup usia.

    Jadi makin seru saja aku mendalami bidang melukis ini perlu sekali aku kembangkan. Dan maaf saja, karena ini pengalaman yang sangat pribadi sifatnya tentu yang manis ditelan yang pahit dimuntahkan. justru karena mekanisme kreatifitas inilah yang menjamin bahwa karya seni selamanya manusiawi. Kekurangan, kekeliruan, dan kesalahan menjadi polyinterprestasi tersendiri membuat karya seni menjadi bermacam-macam kreasi artistiknya. Karena mekanisme kretifitas inilah yang bisa mengubah orang senang atau tidak, benci atau tidak. Sampai-sampai orang mencaci-maki, memujanya, semuanya tergantung dari tempaan pengalaman proses berkarya.

    Saat ini aku tinggal 16 Km ke Selatan kota Malang, Kecamatan pakisaji tepatnya. Daerah sepi berangin persawahan. Sepi menjadi modal bekerja dan mengembangkan diri. Ini belum sepenuhnya bisa aku lakukan (6 jam sehari aku masih ke kota, antar anakku sekolah). Tetapi aku menyakini karya seni menciptakan dirinya sendiri dan menempuh jalannya sendiri. Tempat baru dan suasana baru membawaku tenggelam dalam semangat proses kreatif ( meskipun pemikiranya itu-itu saja ). Dimana aku melebur dengan ruang dan waktu yang aku namakan “Dunia Kerjaku“ atau apapun namanya. Suatu kondisi mengadung kebebasan yang padat, kemerdekaan yang mutlak. Dimana catatan harian, masalah keluarga, membangun eksistensi pribadi, mengagungkan sang pencipta kesediannya menjadi rasa syukur, aku tenggelam menghidupi sementara sang waktu berhenti bekerja seakan hidup di luar ruang dan waktu. Keadaan ini tak tergoyahkan oleh kritik, atau analisa, yang ada nikmat tanggelam dalam....keasyikan, kekhusukan. Suasana ini sifatnya sangat individual, di mana kebebasan pribadi yang padat melepaskan pribadi dari dunia luar, ia tidak bisa di jajah oleh sang waktu yang ada pelukis dan karyanya, melebur menjadi satu. Mungkin ini buat orang lain merupakan lelucon atau  pekerjaan iseng. Apa boleh buat tentang hal ini aku tidak memerlukan pengakuan orang lain.

    Saat penulisan ini aku terbayang teknologi saat ini bisa membuat proses kreatif lebih mudah diciptakan. Maka secara teoritis setiap orang mempunyai peluang untuk berkarya ini menjadikan hasil karya, tentang sesuatu yang muluk sebenarnya justru wajar-wajar saja tinggal faktor individu tersebut yang bisa membedakan dari teknologi, untuk menjadi Individu yang bertanggung jawab, disiplin, konsekuen, berkemauan, keberanian, dan kesadaran mau berproses tanpa harus diperintah. Setidaknya dengan mental seperti itu karya kreatif justru suatu keharusan. Semakin tinggi nilai karyanya sebenarnya semakin tinggi nilai daya sentaknya pada kesadaran, terhadap tanggung jawab, rasional maupun emosional.

    Demikian pengalamam kreatif sejauh aku alami, ini adalah sangat pribadi, sangat subyektif yang banyak kalanya tidak memerlukan logika. Kesimpulan-kesimpulan diatas hasil pengalamam subyektif hasilnya tetap subyektif. Kejujuran yang lahir dari penulisan



Pakisaji, Malang 23 April, 2006.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :